Ilustrasi makanan. (pexels)

Budaya Pangan Nusantara Selaras Alam dan Kebutuhan Gizi

Dengan begitu banyaknya etnis di Indonesia, tidak mengherankan jika bangsa Indonesia memiliki begitu banyak warisan budaya pangan yang bernilai tinggi. Di dalam warisan tersebut tercakup resep kuno, teknologi masyarakat zaman dahulu ketika memasak, hingga cara mengonsumsi makanan.

Sutamara Lasurdi Noor, Koordinator Food Culture Alliance Indonesia dan Project Coordinator Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN Indonesia), mengungkapkan, di berbagai daerah, dirinya melihat bagaimana budaya pangan memiliki makna mendalam. Misalnya, menyuguhkan makanan yang melimpah adalah simbol kemakmuran bagi beberapa kelompok masyarakat Indonesia. Atau, ultra-processed food sering kali dilekatkan dengan status sosial yang lebih tinggi di pedesaan. Sementara makanan tradisional menjadi primadona di perkotaan.

“Fenomena ini mencerminkan kompleksitas budaya pangan kita: keterbukaan terhadap pangan baru dan keinginan mengeksplorasi rasa dan makna. Budaya pangan mencakup lebih dari sekadar tradisi; ia mencerminkan bagaimana kita berpikir, menilai, dan menghargai makanan dalam konteks sosial yang lebih luas,” jelas Sutamara dalam keterangan tertulisnya, Rabu (18/12/2024).

Virginia Kadarsan, yang selama 4 tahun membidangi riset di Akademi Gastronomi Indonesia dan sekarang menjadi bagian dari Gastronomi Indonesia Network, mengungkapkan, dari budaya pangan Nusantara, banyak nilai baik yang bisa diambil, lalu ditambahkan dengan nilai baru, sehingga menjadi nilai yang terus berkelanjutan. “Kita ingin membangun kesadaran baru yang generatif untuk membangun budaya yang nantinya relevan, yang tujuannya adalah untuk kemajuan,” katanya.

 

Di sisi lain, Roby Bagindo, pendiri Masak TV, bercerita, terkait budaya pangan, nenek moyang, makan bukan sekadar memberi makan raga, tetapi juga jiwa. Saat ultra-processed food mengepung dan banyak orang menjadi sakit, banyak negara sibuk mempelajari makanan nenek moyang mereka yang bisa menyehatkan. “Kita beruntung, karena mempunyai makanan purba yang hingga kini masih disantap. Orang masih makan sagu dalam bentuk sagu, rawon yang terkait dengan Prasasti Taji juga masih disajikan dalam rupa yang sama,” ungkpanya.

Lalu, seperti apa budaya pangan Nusantara dalam kaitannya dengan kebutuhan gizi seimbang dan upaya pelestarian alam?

Makanan Nusantara sarat nilai dan makna

Food Culture Alliance menyampaikan bahwa budaya pangan adalah cara masyarakat memikirkan, menghargai, dan menilai pangan yang dikonsumsi. Ini merupakan cerminan dari keyakinan, norma, nilai, dan identitas, baik secara individu maupun sebagai masyarakat. Begitu Tama menegaskan. “Budaya ini memberi makna pada makanan melalui simbol, label, dan ritual, baik dalam keseharian maupun momen istimewa.”

Virginia menilai bahwa gastronomi Indonesia tidak sekadar soal the art of good eating. “Bicara tentang budaya pangan di Indonesia berarti bicara tentang nilai, kebiasaan, pengetahuan, dan praktik terbaik. Ada budaya pangan leluhur yang dibawa ke rumah masing-masing. Dan, semakin dalam kita  mempelajari tradisi ini, akan semakin bagus. Sebab, kita akan mampu memahami alasan di balik pembuatan setiap makanan.”

Sejalan dengan Virginia, Khoirul Anwar, Pendiri Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI), menjelaskan, jika membahas pangan lokal ada dua aspek yang terkait. Pertama, pangan lokal berarti bahan pangan yang menjadi potensi suatu daerah. Kedua, makanan khas daerah tersebut. 

“Makanan di setiap daerah bukan sekadar makanan. Ada nilai dan makna yang tersirat di dalamnya, melekat mulai dari sejarah dan fungsi, yang dipengaruhi oleh ketersediaan bahan. Karena itu, ketika kita pergi ke suatu daerah, kita akan menemukan makanan khas. Kita bisa menelusuri, apa yang mendasari makanan itu ada. Pasti ada sejarah yang menceritakan kenapa makanan tersebut menjadi khas di daerah tertentu.” 

Seiring berkembangnya zaman sejumlah nilai dalam budaya pangan mulai bergeser. Virginia mengamati, ada nilai yang pernah ada dan tidak dipakai lagi, ada nilai yang masih dipertahankan dan sekarang masih dipraktikkan.

“Contohnya, saat ini banyak sekali orang makan sambil berjalan, tidak duduk lagi. Kalau merujuk pada orang tua kita dulu, pasti kita diajarkan untuk makan sambil duduk, tidak boleh berdiri. Dan, dipandang dari segi kesehatan, memang kita harus duduk ketika makan. Kalau makan saja sambil berjalan, mana mungkin sempat berdoa juga, kan?”

Virginia juga mengamati, kebiasaan seorang ibu untuk memasak bagi anaknya mulai terlupakan. Setidaknya di perkotaan, karena alasan kepraktisan, banyak yang memilih pesan antara. “Padahal, dengan masak sendiri, banyak hal bisa dicapai. Energi ibu yang mencurahkan seluruh cintanya saat memasak untuk keluarga akan masuk ke dalam makanan. Menu bisa lebih sederhana tapi bergizi, makanan yang disajikan segar, jumlah masakan secukupnya saja. Apalagi, ditambah dengan berdoa bersama sebelum makan.” 

Gizi lengkap dalam makanan tradisional

Secara alami makanan tradisional memiliki gizi yang baik. Sebutlah dalam sepiring masakan Padang terdapat sumber gizi yang bervariasi. Begitu juga bubur manado dan bubur tinutuan yang memiliki komposisi gizi lengkap, karena adanya karbohidrat, protein, dan lemak dalam satu hidangan. Itulah kenapa Khoirul memandang bahwa makanan lokal berpotensi memiliki gizi yang seimbang.

Menurutnya, masyarakat Papua memahami, mengonsumsi papeda saja tidak cukup. Maka, mereka menyantapnya dengan sumber gizi lain, seperti ikan laut yang sangat melimpah, kuah kuning, dan sayuran yang dipetik dari kebun sendiri. Dengan begitu, kebutuhan gizinya akan terpenuhi. Jaqualine Wijaya, CEO Eathink, menambahkan, Papua bahkan punya buah endemik, yaitu matoa yang semakin langka. Juga ada sayur swamening yang terbuat dari daun gedi.

Dari sisi tradisi, setiap makanan tradisional memiliki nilai tersendiri. Contohnya, menyantap ketupat saat Lebaran sudah menjadi budaya yang melekat. Hanya saja, orang kini semakin sadar akan kesehatan. 

“Tapi, dengan alasan kesehatan, bukan berarti kita melarang orang makan ketupat, lalu menggantinya dengan oat. Terkait tradisi, ketupat merupakan simbol permintaan maaf, tidak bisa dihilangkan begitu saja. Walaupun, pada zaman sekarang modifikasi makanan sudah menjadi sebuah kebutuhan. Namun, jangan sampai menghilangkan apa yang menjadi jati diri,” kata Khoirul.

Roby bercerita, masyarakat Sumatra sering mengonsumsi sayur pakis yang mampu menurunkan tekanan darah tinggi karena tinggi akan kalium. “Itu berarti, apa yang diberikan oleh alam sudah sesuai dengan gaya hidup dan gaya makan masyarakatnya. Tapi, ketika mereka pindah ke kota, gaya hidupnya berubah, tapi pola makannya sama, maka dia bisa sakit. Misalnya, dari yang mulanya berkebun, kini bekerja di kantor, sementara pola makanya tetap sama, ini akan menimbulkan masalah kesehatan baru. Sebab, ada yang tidak seimbang dalam pola makan mereka.”

Nilai kearifan dalam budaya pangan

Yang menarik, setiap etnis memiliki nilai kearifan tersendiri, misalnya tentang berbagi makanan kepada orang lain dan berhenti makan ketika sudah merasa cukup. Virginia mencontohkan, sejak dulu masyarakat Yogya gemar mengonsumsi makanan dan minuman manis. Salah satu kebiasaan yang ‘beraroma’ sangat Yogya adalah menyesap teh poci hangat di sore hari. Di balik kebiasaan tersebut tersembunyi filosofi, bahwa setelah seharian bekerja, tiba waktunya untuk beristirahat dan sejenak menikmati hidup. 

Contoh lain adalah  rendang yang berasal dari kata marandang. Di balik kenikmatan rendang yang mendunia ini, terkandung makna yang direpresentasikan oleh santan, rempah, dan cabai merah. Virginia melihat rendang yang dalam sejarahnya dibuat dengan proses memasak yang panjang, diolah dengan bahan-bahan terbaik, merupakan tanda kasih yang disiapkan orang tua untuk anak-anak yang merantau.

Kearifan lokal lain yang sebenarnya sudah membudaya di berbagai etnis adalah makan bersama. Contohnya, Bajamba di Sumatra Barat, sebuah tradisi yang mencerminkan prinsip kebersamaan dan saling berbagi. Makanan yang disajikan dalam porsi cukup besar, namun dimakan bersama sehingga tidak ada yang terbuang. Pengaturan porsi yang tepat dan saling berbagi memastikan makanan yang dihidangkan bisa dihabiskan oleh mereka yang hadir. Tanpa disadari, tradisi ini mengurangi pemborosan makanan atau food waste.

Khoirul mengungkapkan, solusi agar tidak menjadi food waste bukan makan sebanyak-banyaknya sampai habis. Yang dianjurkan adalah food sharing, yang bisa membantu mengurangi sampah makanan, sekaligus mengontrol porsi makan. Masalahnya, ketika sakit akibat makanan, orang terkadang menyalahkan makanannya. Misalnya, sakit setelah Idul Adha, yang disalahkan ketupat dan sate. 

“Makanan itu tidak salah. Ketika kita punya 10 tusuk sate, lalu hanya menyantap 2 tusuk, dampaknya akan berbeda kalau kita menghabiskan 10 tusuk sekaligus, ditambah 10 tusuk lagi kiriman dari tetangga. Kalau mau sehat, kita harus punya kesadaran untuk mengendalikan cara makan. Itulah kenapa portioning menjadi penting,” kata Khoirul, Program Studi Gizi, Fakultas Teknologi Pangan dan Kesehatan, Universitas Sahid Jakarta.

Dan, keseimbangan dalam budaya pangan itu menjadi nilai yang berharga. Sejumlah etnis memiliki cara tersendiri untuk menjaga tubuhnya agar makanan tidak masuk berlebihan dengan cara berpuasa. Maka, hingga kini masih ada yang menjalankan puasa Senin-Kamis, puasa mutih, dan puasa weton. 

Kembali ke selera asal

Tama melihat sebuah fenomena yang menarik, yaitu warga perkotaan makin menggemari makanan tradisional. Bagi masyarakat urban, makanan tradisional menjadi sesuatu yang prestigious. Karena, papeda dari Papua dibawa ke Jakarta, coto dari Makassar masuk ke Jakarta, dalam konsep resto yang high end

“Berdasarkan kajian Food Culture Alliance, ada fenomena sosial bahwa orang Indonesia menyukai eksplorasi rasa. Di Indonesia ultra-processed food, seperti burger dan pizza, dilabeli sebagai makanan perkotaan. Namun, seiring zaman orang yang tumbuh besar di wilayah urban ingin mencicipi makanan tradisional. Kebalikan dari masyarakat di wilayah rural yang ingin mencoba makanan urban.” 

Sejalan dengan itu, Roby turut menambahkan fenomena tersebut dari contoh yang lain. Menurutnya, cara paling mudah bagi kita untuk mengenal suku lain adalah lewat makanan. Misalnya, untuk mengenal orang Yogya, kita akan mencicipi gudeg. Apalagi, sejak kecil kita terbiasa bertemu dengan teman dari latar belakang budaya berbeda, sehingga kita ingin tahu makanan mereka. 

“Di satu titik orang tetap punya involuntary memory. Misalnya, orang Manado punya memori makan di rumah saat ia kecil. Menunya ada ikan woku, sambal dabu-dabu, dan lalampa. Di tempatnya yang baru dia akan berkumpul di lingkungan yang sama, mencari memori masa kecil dia. “Itulah kenapa orang Bugis datang ke Kelapa Gading. Soalnya, berbagai makanan khas mereka bisa ditemukan di sana. Bahkan, rumah makan yang ramai di kota asalnya pun ikut membuka cabang di Jakarta.” 

Hanya saja, Roby memandang, bukan baru sekarang makanan Nusantara naik kelas. Bahkan ketika Konferensi Meja Bundar di Belanda, Indonesia sudah menyajikan makanan khas Nusantara untuk perjamuan. 

“Pada tahun ’70-an hingga ‘90-an makanan cepat saji masuk ke negara kita, sehingga budaya pangan kita jadi Amerika banget. Pasca reformasi pada ’90-an ada rasa bahwa makanan Nusantara itu keren, ya. Sehingga, mulai banyak resto fine dining yang menempatkan makanan Nusantara dalam kerangka merayakan makanan lokal. Itulah yang mungkin membuat orang seperti baru melihat bahwa makanan tradisional sudah masuk fine dining. Padahal, sebenarnya dari dulu sudah ada tempatnya di kelas high end,” kata Roby. 

Pangan menghilang, masakan lokal lenyap

Tama berpendapat, keselarasan antara pola makan gizi seimbang dan budaya pangan lokal menjadi kunci keberlanjutan pangan. Selain mendukung diet berkelanjutan, pola makan tersebut mendukung kelestarian alam karena memutus rantai distribusi yang panjang. “Seandainya beras tidak tersedia di Nusa Tenggara, kenapa masyarakat Nusa Tenggara harus membeli beras dari Jawa? Distribusi yang panjang akan menyumbang gas emisi rumah kaca.”

Melihat kembali ke belakang, Roby bercerita, kebiasaan makan nasi dibentuk secara politik sejak era Kerajaan Mataram. “Daripada susah-susah menanam jewawut, talas, ubi, singkong, atau gembili, isi saja lumbung dengan beras untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Padahal, yang dimakan nenek moyang kita adalah sagu. Ketika diberi nasi, tubuhnya tidak bisa memecah insulin secepat itu,” kata Roby yang meyakini mayoritas warga Pulo Gadung tidak pernah tahu gadung itu seperti apa. 

Di zaman kolonial, cerita Roby, yang mengonsumsi nasi adalah orang yang keren. Padahal, negeri kita kaya akan berbagai sumber karbohidrat lain. Tapi, orang yang makan jewawut dibilang mengambil jatah makanan burung, sementara yang makan tiwul dibilang ndeso. Virginia juga mengungkap pendapat serupa. Orang yang makan ubi atau singkong akan diberi label kampungan.

Bicara soal pangan lokal, Jaqualine menyebutkan dua sumber. Pertama, bahan pangan yang ditanam, lalu hasilnya dipanen. Kedua, bahan pangan yang sudah tersedia di alam, misalnya hutan. 

“Jika ingin mencapai pola pangan sehat, harus ada keseimbangan di antara keduanya. Hasil hutan pun harus diambil dengan bertanggung jawab, jangan sampai merusak ekosistem sekitarnya. Sementara dari segi pertanian, kita bisa menerapkan agroekologi yang mendukung biodiversitas. Apalagi, sumber makanan yang beragam akan membantu menambah bakteri baik dalam tubuh yang berguna dalam menjaga kesehatan,” kata Jaqualine, yang belum lama ini bersama Eathink merilis panduan gaya hidup SELARAS (Seimbang, Lokal, Alami, Beragam, Sadar). 

Tantangannya, menurut Jaqualine, bagi masyarakat di luar Jawa, mi instan dan beras lebih bergengsi daripada makanan lokal mereka sendiri. Mereka akan merasa bangga, jika bisa membeli dua bahan pangan itu. “Bukan melarang, tapi kita perlu mendorong lebih banyak konsumsi pangan lokal. Jangan hanya disantap ketika upacara adat saja, melainkan juga untuk sehari-hari.”